PERUBAHAN STRUKTUR INDUSTRI MEDIA CETAK ERA PASCA ORDE BARU

PERUBAHAN STRUKTUR INDUSTRI MEDIA CETAK ERA PASCA ORDE BARU

 

Hasil dari era reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa salah satunya adalah kebebasan pers dan media massa Indonesia. Hal ini berdampak pada perkembangan media cetak baru, yang diibaratkan bak tumbuhnya cendawan di musim hujan. Namun disisi lain perkembangan-perkembangan itu tidak diimbangi dengan kemampuan profesionalisme dan kemampuan manajerial insan pers, sehingga dalam waktu hitungan bulan, banyak pula indsutri media cetak yang berguguran.

Seiring dengan kondisi ini, yang tidak kalah penting adalah masih adanya perasaan phobia terhadap perlakuan sewenang-wenang rezim penguasa di masa lalu. Dengan demikian yang utama dilakukan media massa dalam era reformasi dewasa ini adalah membebaskan diri dari belenggu pemerintahan represif.

Ketakutan bahwa SIUPP akan dicabut harus dihilangkan, disamping tetap mengedepankan aspek tanggungjawab pers kepada masyarakat. Apalagi dalam ketentuan kode etik jurnalistik telah ditegaskan dan harus dijunjung tinggi bahwa pemberitaan pers harus seimbang, objektif, jujur, fair, dan tidak partisan.

Mencermati perkembangan pers di Indonesia, dalam sejarahnya media cetak pertama di Indonesia diterbitkan oleh gubernur Jenderal Jan Pleterszoon Coon yang diberi nama memorie der nouvelles pada tahun 1615 dengan tulisan tangan. Media ini berisi berita resmi dan informasi tentang maskapai dagang belanda, VOC. Surat kabar pertama, Bataviasche Nouvelles en politique raisonnementen, terbit pada medio agustus 1744 di Jakarta. Surat kabar mingguan ini dikelola oleh orang belanda dan menggunakan bahasa belanda. Namun pada bulan juni 1776,  bataviasche nouvelles di bredel oleh VOC.inilah pertama kali.  

Meningkat pada masa orde baru, tahun 1967 ketika soeharto di angkat menjadi presiden oleh MPRS setelah mengambil kekuasaan soekarno melalui supersemar yang merupakan “kudeta”(Crouch,1978;19), melakukan pembredelan terhadap surat kabar yang menjadi organ PKI. Soeharto mengadakan pembersihan terhadap ratusan wartawan yang punya hubungan dengan PKI. Namun sebaliknya, antara tahun 1965 sampai 1972, soeharto juga mengeluarkan beberapa izin (SIP) yang jumlahnya mencapai 1.559 buah. Kemudian menghidupkan kembali beberapa surat kabar yang dilarang terbit oleh soekarno, seperti Merdeka, Pedoman, dan Indonesia raya.

Memasuki media tahun 1970-an, rezim orde baru mulai mengadakan control terhadap industri media cetak, khususnya kalangan pers. Ada dua lembaga inkonstitusional rekayasa rezim ini yang melakukan intervensi terhadap organiasai PWI, yaitu Operasi Khusus (OPSUS) dan Komando Pemulihan keamanan dan ketertiban (KOPKAMTIB). Ketika terjadi peristiwa “MALARI” rezim orde baru menutup 12 surat kabar termasuk diantaranya harian pedoman milik Rosihan Anwar dan Indonesia raya milik Muchtar Lubis. Sepanjang tahun 1980-an berbagai media massa cetak mengalami pembredelan dengan berbagai tuduhan oleh penguasa,

Bisnis media cetak di masa rezim orde baru mengalami peningkatan pada akhir tahun 1970-an seiring dengan keberhasilan ekonomi orde baru. Tiras keseluruhan surat kabar dan majalah yang ada di Indonesia mencapai 10,8 juta dan kemudian meningkat menjadi 12,3 juta pada tahun 1993.

Pesatnya perkembangan industri media cetak telah berhasil menempatkan Harian Kompas dan Suara Pembaharuan meningkat jumlah pelanggannya di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan yang sedang tumbuh dengan tiras mencapai lebih dari 500.000. Keberhasilan bisnis Kompas menempatkan Group Kompas-Gramedia sebagai konglomerat di Indonesia dengan peringkat 50.

Keberhasilan media cetak atau pers disertai peningkatan tiras dan peningkatan jumlah iklan, berjalan seiring dengan pengendalian pers oleh penguasa Orde Baru yang mengakibatkan pers Indonesia kurang militan dan lebih banyak defensive. Di bawah penindasan Orde Baru, industri pers menjadi mapan sebagai perusahaan bisnis, tidak lagi bebas menyediakan ruangan (public sphere) bagi public sebagai akses sumber informasi yang independen.

Dalam kehidupan politik yang berkembang pada rezim Orde Baru, komersialisme dalam media dan komunikasi berpengaruh besar dalam mendorong terjadinya depolitisasi masyarakat sipil. Media telah tumbuh menjadi suatu industri yang berpengaruh kuat terhadap masyarakat. Selain itu, besarnya modal yang dimiliki dan dikuasai membuat media tampil sebagai kekuatan di luar jangkauan public (Chesney, 1997 : 7).

Secara politik, kalangan industriawan dan para jurnalis  tidak berdaya menentang intervensi Negara dalam aktivitasnya. Di Negara demokratis, intervensi penguasa dipandang sebagai kejahatan besar terhadap praktek pasar bebas dalam industri media. Dalam sistem komunikasi yang dibentuk rezim Orde Baru, industri media cetak telah dikuasai oleh hanya beberapa perusahaan besar. Iklan telah menjadi salah satu pemasukan terbesar media. Pola kepemilikan saham dan penguasaan terhadap media tidak menjadi perhatian penting,  masyarakat seakan-akan tidak perduli terhadap sosok besar industri media yang berpengaruh besar dan begitu menentukan dalam kehidupan social politiknya.

Penguasaan pribadi terhadap industri media tidaklah mencerminkan suatu proyek netral dan menguntungkan setiap pihak. Landasan komersial media massa sampai saat ini terbukti berimplikasi buruk terhadap praktek politik demokratis. Penguasaan dan pemilikan pribadi member peluang bagi kepentingan komersial ternyata dapat mempengaruhi isi media.

Teori “pers bebas dan bertanggungjawab” yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk membenarkan Sistem Pers Pancasila telah menjadi landasan melegitimasi kekuasaan pemerintah dengan memaksa pers bertanggungjawab. Dasar teoritis tersebut untuk membenarkan hak pemerintah Orde Baru mengawasi industri media. Hal ini dilakukan agar intervensi pemerintah diterima secara sukarela oleh kalangan industri media.

Agar bertahan hidup di bawah sistem pers Orde Baru, para penerbit dan pimpinan redaksi terpaksa menerima paham interaksi antara pemerintah dengan kalangan media. Pola interaksi ini menuntut para jurnalis untuk merespon setiap upaya sensor preventif yang dilakukan melalui telepon. Di samping itu,  menuntut pers untuk sukarela mencari tahu kepada pihak yang berwenang, apakah suatu berita boleh diterbitkan atau tidak.

Kalangan jurnalis merupakan sub sistem dari industri pers menentang pengekangan yang dilegal-formalkan oleh penguasa Orde Baru. Hal itu disebabkan control ketat pemerintah atas pers telah melumpuhkan pers dan membuatnya gagap dalam menyalurkan informasi politik.

Pers tidak lagi memiliki ruang selaku kekuatan moral, untuk mengungkapkan pemikiran dan sikapnya. Kebebasan pers tidak lagi didasarkan atas aspirasi dan idealism akan tetapi telah dikontrol oleh pengekangan yang diterapkan pemerintah atas dirinya (Atmakusumah, 1981 : 56).

Rezim orde baru melalui departemen penerangan menjalankan kebijakan membatasi seketat mungkin keluarnya ijin terbit baru, penguasa atau pemerintah dapat mengontrol media dengan efektif, sebagai contoh, hingga September 1993 sekitar 137 lamaran untuk memperoleh SIUPP telah di ajukan ke departemen penerangan, tetapi hanya dua SIUPP yang di keluarkan  yaitu republika  yang didukung oleh habibie dan ICMI. Sedangkan ijin yang lain yaitu untuk sinar, yaitu mingguan berita yang dimiliki oleh sudwikatmono, saudara angkat soeharto.

Dengan membatasi SIUPP baru, Deppen melindungi media massa yang sudah ada dari persaingan media massa baru. Pelaku industri cetak juga di lindungi terhadap persaingan International lewat UU pokok pers yang melarang modal asing untuk menerbitkan media massa di Indonesia. Dewan pers yang menjadi perpanjangan tangan deppen mengatur jumlah halaman, dan banyaknya iklan yang boleh di muat media cetak. Jumlah halaman surat kabar harian maksimal 20 halaman, sedangkan iklan dibatasi maksimal 35% dari jumlah halaman.

Dalam perkembangannya, bisnis media telah menjadi sistem komersial yang menghasilkan keuntungan besar. Bisnis ini menjejali khalayak dengan iklan dan hal-hal komersial dan situasi ini menjadi sangat menyedihkan dimana jurnalisme dikuasai oleh kelompok dan perusahaan besar. Hal yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Agrevisitas ekonomis dari bisnis industri media di Indonesia dapat dilihat melalui perubahan yang terjadi dalam pola kepemilikan industri tersebut. Pada tahun 1994, harian terkemuka “merdeka”, surat kabar nasionalis yang bernilai sejarah, hilang kemerdekaannya menjelang ulang tahun yang ke-50 dengan bergabungnya harian tersebut dalam kelompok Jawa Pos Group. Apa yang terjadi di Indonesia bukan hanya integrasi perusahaan-perusahaan pers ke dalam kelompok media massa yang mapan, akan tetapi juga pengambilalihan kepemilikan oleh pihak yang dekat dengan kekuasaan. Pada era 1980-an konglomerat industri media terdapat di beberapa kelompok bisnis saja, seperti;

  1. Kompas Gramedia group
  2. Sinar kasih Group
  3. Tempo-Jawa Pos Group

Konsentrasi atau pemusatan pemilikan perusahaan pers pada decade 1990-an ditandai dengan mulai berperannya orang-orang dekat soeharto dalam kepemilikan saham perusahaan pers. Diantaranya para kroni ini muncul dijalur mainstream jurnalisme

  1. Bob hasan, mendirikan paron dan sportif serta menguasai saham gatra
  2. Abdul latif di tiras
    1. Harmoko memiliki saham di 31 media massa, yang 23 diantaranya didapatnya  setelah menjadi menteri penerangan.
    2. Bambang trihatmojo melalui bimantara Group mengambil harian media Indonesia
    3. Siti hardiyanti rukmana menerbitkan tabloid mingguan media Indonesia
      1. Sudwikatmono menerbitkan majalah popular bintang Indonesia setelah memberangus tabloid monitor

 

Pers dan Pemerintah

            Dalam media global, filsafat media merupakan istilah yang boleh jadi menyembunyikan realitas yang perlu dikaji. Dalam arti bukan tidak berupaya menanamkan filsafat sejati-cinta kepada kebijaksanaan dan pengetahuan atau berupaya menetapkan serangkaian prinsip yang memungkinkan media mengatur dirinya. Namun akan lebih menekankan penggambaran hubungan antara pemerintah dengan jurnalistik yang didalamnya keseimbangan kekuasaan selalu berubah.

            Salah satu persoalan abadi yang membuat para filosof sibuk membahasnya adalah bagaimana menggambarkan batas antara kebebasan dan pengawasan (control), yaitu sampai sebatas mana koersif bisa diterapkan secara sah untuk merumuskan batas-batas tindakan yang dibenarkan. pemerintah dan wartawan menempatkan batas tersebut di berbagai tempat dan menawarkan berbagai pembenaran atas tindakanya (djamaluddin,1993:3)

            John O’Nell dalam tulisannya “Journalisme in the market place” menjelaskan bahwa alasan utama bagi pihak-pihak yang mempertahankan pasar bebas adalah bahwa kebebasan dalam ekonomi pasar merupakan kondisi yang diperlukan bagi demokrasi. Peranan jurnalisme dan pers adalah penting dalam argument ini. Pasar bebas memberikan pers bebas yang menyediakan keragaman opini dan akses pada infomasi yang dibutuhkan oleh seorang warga negara untuk bertidak dalam suatu sistem demokrasi.

Pasar bebas, jurnalisme dan demokrasi membentuk sebuah institusi trinitas yang saling tergantung dalam sebuah “Open Society”. Walaupun jurnalisme sebagai sebuah pekerjaan praktis tetapi memiliki peranan penting dalam masyarakat yang demokratis, sehingga pasar ditentukan oleh hubungan antara jurnalisme dan demokrasi.

Teori tentang hubungan antara market dengan kegiatan praktis para jurnalis ini juga sejalan dengan teori ”Public Sphere” yang oleh Habermas dijelasan lebih lanjut bahwa ruang public harus dilindungi dari kekuasaan negara dan gereja. Harus ada prinsip keterbukaan kepada seluruh warganya pada akses ke pasar. Keanggotaan ruang public seperti halnya “Citizenship” bersifat universal. Seluruh partisan dalam ruang public seperti halnya pasar yang kompetitif berada pada ketentuan-ketentuan yang sama sehingga kesejahteraan social dapat merata didistribusikan.

 

Korelasi antara Media, Pemerintah, dan Masyarakat

Menurut Godwin Chu, control pemerintah terhadap media massa, pada tahap pertama berfungsi untuk memunculkan pembaharuan. Pers dikendalikan agar tidak digunakan sebagai alat oposisi, yang bisa berakibat pada terhambatnya pembaharuan.

Pada tahap kedua, pertumbuhan ekonomi pendorong meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap media massa. Pada tahap ketiga, perkembangan media massa merangsang pertumbuhan informasi, termasuk mengenai ide-ide baru. Pada tahap keempat, perubahan besar. Media massa mulai mengambil peranan baru sebagai forum untuk menyatakan tuntutan politik.

Komunikasi menjadi peran kunci untuk kepentingan individual menjadi satu tuntutan politik kolektif. Perubahan besar mulai terwujud dalam lembaga-lembaga politik, bila elit penguasa perlu tunduk pada tekanan arus perubahan di masyarakat yang semakn memuncak. Pemerintah pada akhirnya akan menyerahkan control kekuasaannya sedikit demi sedikit, sekalipun terpaksa.

Perubahan yang terjadi terhadap aspek-aspek ekonomi dan politik yang berkaitan dengan industri media cetak dalam suatu Negara, tentu tidak akan terlepas dari hubungan pers itu sediri dengan pemerintahan. Pola hubungan itu secara tidak langsung akan membentuk bagaimana perubahan peta ekonomi politik pers.

Termasuk di Indonesia, pasca orde baru dengan format baru interaksi antara pers dan pemerintahan, ternyata membentuk suatu pola tersendiri. Termasuk di dalamnya adanya pengaru sistem pers yang dianut, sejak runtuhnya rezim otoriter, yang membuka cakrawala perkembangan pers baik secara institusi ataupun manajemen isinya.

Pembahasan mengenai sistem pers pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk sistem yang lebih besar, dalam hal ini adalah sistem komunikasi. Pengertiaannya, bahwa sistem per situ merupakan bagian atau sub sistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem social (sistem kemasyarakatan). Oleh karena itu untuk mengetahui sistem pers itu tidak bisa lepas dari bentuk sistem social dan bentuk pemerintahan negara yang ada, di mana sistem pers itu berada dan berfungsi.

Setiap negara mempunyai bentuk dan sistem pers sendiri. Untuk dapat melihat keseluruhan, terlebih dahulu melihat sistem social dan sistem politik suatu negara. Untuk itu Siebert, et al., mengatakan:

to see the social sistem in their true relationship to the press, one has to look at certain basic beliefs and assumptions which the society and the state, the relations of the state and the nature of knowledge and truth” (Siebert, et al., 1963 : 1).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem pers pada suatu negara mencermikan sistem social yang di dalamnya diatur hubungan-hubungan antar individu dengan lembaga-lembaga yang ada.

Suatu sistem media mencerminkan falsafah politik negara dimana ia berfungsi (Merrill dalam Rachmadi, 1990 : 30). Selanjutnya John C. Merril secara lebih tegas menyatakan, bahwa “a nation’s press or media sistem is closely tied to the political sistem”. Sebagai konsekuensinya, maka sistem pers itu berbeda di negara yang satu dengan negara yang lain. Looyd Sommerland (1966) mengatakan bahwa sebagai institusi social, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda, tergantung pada sistem politik ekonomi dan struktur social dari negara di mana pers itu berada.

Pola hubungan pers dan pemerintah di suatu negara erat sekali kaitannya dengan sistem dan struktur politik yang berlaku di dalam negara dimana kedua lembaga itu (pers dan pemerintah) berada, bahkan hubungan itu dipengaruhi pula oleh perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan. Kenyataan memungkinkan dianalisanya sistem media suatu masyarakat dengan memusatkan perhatian pada falsafah dan struktur pemerintah.

Oleh karena itu, di dunia yang terdapat banyak konsep dan jenis sistem dan tatanan politik, terdapat pula banyak konsep tentang hubungan antara pers dan pemerintah dalam arti yang sangat nyata menentukan fungsi dasar dan tujuan pokoknya dalam masyarakat. Sistem pers memang tidak dapat lepas hubungannya dengan struktur social dan struktur politik dari suatu masyarakat/negara.

Oleh karena masyarakat secara keseluruan sangat dipengaruhi oleh sistem politiknya, maka ini berarti bahwa pers akan baik hubungannya atau berfungsi wajar, dalam suatu masyarakat hanya apabila ia cocok dengan falsafah politik dari masyarakat yang bersangkutan. Atas dasar pandangan ini, maka pers tidak mempunyai kehidupan mandiri, melainkan dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga masyarakat yang lain (Rachmadi, 1990 : 30).

Mencermati perkembangan pers di Indonesia, setelah bergulirnya era reformasi yang berimplikasi pada sistem penerbitan pers yang lebih bebas, tampaknya telah ada suatu pergeseran sistem pers di Indonesia, walaupun tidak sepenuhnya. Kondisinya saat sebelum Orde Reformasi, pemerintah memiliki peran yang sangat besar dan seringkali represf dalam mengatur pola lalu lintas informasi bagi masyarakat. Tidak adanya keleluasaan dalam ruang public, dan menimbulkan beragam ekses yang sangat merugikan, baik bagi kalangan praktisi pers maupun masyarakat sendiri.

Sistem pers di Indonesia, kala itu, menunjukkan bahwa media massa berfungsi menunjang negara dan pemerintah dengan kekuasaannya sebagai tujuan utama. Oleh karena itu, pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah.

Terlepas dari itu semua, sistem pers di Indonesia tidak dapat dikategorikan dalam bentuk sistem libertarian ataupun sistem otoritarian, begitu juga dengan sistem pertanggungjawaban social (social responsibility). Di sinilah letak keunikan pers Indonesia, yang disebut sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan.

Pers Indonesi memang memiliki fungsi yang berbeda dengan pers barat ataupun pers komunis, walaupun ada unsur yang masuk ke dalam praktek jurnalistik Indonesia, yakni konsep “tanggungjawab social” dari pers. Konsep tersebut telah diterima dan dikembangkan di Indonesia walaupun berbeda dengan pengertian “tanggungjawab sosial’ dari pers amerika serikat.

 

Perubahan struktur Industri media cetak pasca Orde Baru

Hasil studi literatur menunjukkan bahwa kondisi pers Indonesia pada paruh kedua 1998 hingga paruh pertama di tahun 1999, tengah mengalami euphoria setelah jatuhnya soeharto tanggal 21 mei 1998. Euphoria pers Indonesia tidak hanya mengejawantahkan dalam bentuk munculnya berbagai jenis dan bentuk media baru, tetapi juga dalam isi, gaya penulisan serta cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa orde baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan yang pada masa orde baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik kini seolah sirna diterpa angin kebebasan. Sampai Juni 2010 saja jumlah media cetak baik harian, mingguan, tabloid. Majalah dan bulletin sudah mencapai 1.079 buah dan tumbuh 3,9 % dibanding tahun 2009.

 

 

 

 

 

 

 

Bagaimana dengan tiras atau oplah? Mengikuti pertumbuhan jumlah penerbit, tiras media cetak juga menunjukkan tren positif tumbuh 23,5% dalam rentang 2006 – 2010 (lihat Tabel-2), sekalipun sempat terjadi fluktuasi kecil pada 2007 – 2008. Dalam tiga tahun terakhir, sekalipun menampakkan laju positif, namun pertumbuhan tiras masih di bawah dua digit, masing-masing 9,1 persen (2009) dan 3,3% (2010).

 

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Krisis ekonomi pada tahun 1998 ternyata tidak menyurutkan gairah masyarakat untuk mendirikan badan-badan penerbitan. Wilayah distribusi media cetak juga semakin meluas. Jika sebelumnya hanya terkonsentrasi pada kota-kota besar seperti ibu kota propinsi, kini kota-kota kabupaten serta beberapa kota kecamatan memiliki media massa ber SIUPP. Bahkan kawasan-kawasan kompleks perumahan dijakarta juga memiliki media massa sendiri, seperti Info gading di komplek kawasan kelapa gading, Info Bintaro di Kompleks bintaro jaya. Sehingga kini juga tumbuh pesat apa yang disebut dengan community Newspaper, sebut saja purwokerto yang kini memiliki sudirman pos, Bogor memiliki Bogor pos dan radar bogor, malang dengan malang pos dan suluh demokrasi. Bahkan di beberapa kota kecil sudah memiliki Koran, tabloid dan majalah local seperti ternate memiliki ternate pos dan Halmahera pos, brebes pos, dan Kediri pos.

Situasi Pers Daerah yang demikian pesat telah memberi peluang kepada pengusaha tertentu untuk melakukan investasi dan menjalankan bisnis industri media massa lokal. Karena itu tidak mengherankan jika Kelompok Media Grup Kompas, Kelompok Media Grup Jawa Pos dan Kelompok Grup Media Indonesia terus melebarkan investasinya di industri pers atau media massa di berbagai provinsi di Indonesia. Kelompok Media Grup Kompas misalnya kini sudah memiliki jaringan Pers Daerah seperti Tribun Kaltim di Samarinda/ Balikpapan dan Tribun Lampung. Dan jaringan media Pers Daerah lainnya dengan mudah dapat diidentifikasi pada Data Pers Nasional 2010 yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah ternyata Pers Daerah juga tumbuh dan berkembang seperti di provinsi atau daerah lain. Harian Umum Tabengan misalnya benar-benar tampil sebagai media lokal atau Pers Daerah yang kontennya memang mengandalkan informasi di provinsi Kalteng. Harian Umum Tabengan misalnya mampu mengangkat beberapa isu lokal Kalteng dengan tetap menghadirkan isu nasional dengan persentasi yang proporsional sebagai suratkabar berkarakter Pers Daerah. Di samping itu, Harian Umum Tabengan Kalteng juga mampu merekrut Pemimpin Redaksi yang sebelumnya berhasil memimpin suratkabar nasional yang terbit di Jakarta.

Dalam perkembangan sekarang ini, kendati dalam SIUPP disebutkan isi penerbitannya bersifat umum, namun dalam kenyataannya banyak media yang berubah isi menjadi didominasi oleh berita yang mengangkat isu-isu politik. Untuk tabloid misalnya muncul detak, realitas, perspektif, bangkit . selain itu seiring dengan munculnya banyak partai politik berkembang pula media yang dikuasai oleh partai politik tertentu sebagai akibat kepemilikan modal, sebagai contoh yaitu Media Indonesia: ada di bawah pimpinan Surya Paloh, pendiri Nasional Demokrat dan Seputar Indonesia: dikhawatirkan di bawah kuasa Nasional Demokrat.

Seperti telah dikemukakan dimuka, deregulasi pers yang dilancarkan pasca reformasi telah merubah struktur pers di Indonesia. Dalam bidang pengawasan pers, kedudukan PWI, SPS dan SGP yang semasa orde baru ditetapkan sebagai wadah tunggal untuk organisasi wartawan, penerbit pers dan percetakan pers berakhir sudah, dengan demikian terbuka peluang bagi masyarakat pers untuk membangun organisasi. Wartawan telivisi yang pada era wadah tunggal tergabung dalam PWI, kini membangun organisasi sendiri dengan nama Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI). Pengelompokkan jurnalis juga tidak dhanya didasarkan pada perbedaan jenis media massa,tetapi juga pada bidang liputan. Kelompok wartawan yang biasa meliput masalah-masalah ekonomi mendirikan Asosiasi Wartawan Ekonomi (AWEI). Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah memenuhi kriteria Standar Organisasi Wartawan sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 12/SK-DP/VIII/2006 tentang Hasil Verifikasi Organisasi Wartawan Tahun 2006

 

Apa jalan keluarnya?

Pers  harus makin profesional. dan   menggunakan   standar   umum jurnalisme sebagai pegangan untuk tidak jatuh dalam pandangan-pandangan sempit yang  ada.  Persoalan  independensi memang menjadi masalah berat bagi pers , dan soal kemampuan wartawan yang tidak terasah oleh pelatihan yang baik, juga menjadi faktor penyebab kondisi ini. Para pengelola media  harus diingatkan bahwa kekuasaan berumur lebih pendek daripada sebuah pers yang independen. Pers yang independen akan hidup melewati berbagai penguasa politik, dan jika ia dicintai oleh pembacanya pers akan terus bertahan. Pelatihan, pendidikan, dan investasi lain terhadap manusia-manusia yang menjadi pelaku pers  harus makin ditingkatkan. Liputan yang lebih mendalam, lebih investigatif perlu dikedepan kan untuk membuat pers  menjadi lebih memikat bagi masyarakat setempat. Harus pula diingat bahwa membela kepentingan politik salah satu kontestan berarti telah mengingkari hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan   berimbang.   Prinsip   atas   hak memperoleh informasi ini haruslah ditekankan karena ini merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia global. Pemberitaan yang bias akan  merugikan masyarakat luas. Media yang telah jatuh dalam favoritisme atas kelompok politik tertentu akan membuat masyarakat tak lagi percaya pada media tersebut. Padahal kepercayaan masya-rakat (kredibilitas) adalah hal yang mahal dan sulit untuk diraih. Sekali kepercayaan itu ternodai, pers akan ditinggalkan masyarakat.

Selain itu pihak Dewan Pers juga harus melakukan pengawasan secara lebih proaktif ketimbang menunggu pengaduan yang datang dari masyarakat. Pelanggaran etika yang tidak dilaporkan kepada Dewan Pers jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan, dan untuk itu Dewan Pers harus mengambil sikap untuk bisa menjaring lebih banyak pengaduan dari masyarakat-masyarakat yang jadi stakeholders dari pers lokal tersebut.

Sementara itu lembaga-lembaga seperti media watch ataupun para peneliti media perlu makin dapat dukungan untuk menjadi bagian yang sama-sama berupaya untuk meningkatkan performa dari pers  tersebut. Pendeknya, upaya untuk makin meningkatkan profesionalitas pers  bukan semata pekerjaan dari pengelola pers  itu sendiri, namun sebagai suatu kerjasama lintas pihak untuk membuat pers yang profesional yang sekaligus bermakna untuk kepentingan publik yang lebih luas.

Kesimpulan

Perjuangan pers Indonesia telah mengalami perubahan yang positif dan kondusif. Hal ini ditunjukkan dengan berakhirnya rezim otoriter yang mengekang kebebasan pers selama lebih dari tiga puluh tahun. Ini tidak dapat dilepaskan dari hasil dari reformasi.

            Tentunya pers sebagai salah satu komponen dalam perccaturan perkembangan bangsa telah memiliki andil dalam upaya anak bangsa untuk merobohkan rezim penguasa yang menggurita tersebut. Dengan perannya sebagai wahana penyalur aspirasi publik dan penyampai informasi ke publik, tidak kecil efek yang diperolehnya.

Dimulai dengan diterbitkannya peraturan tentang pers yakni Undang-undang Pokok Pers, yaitu UU No. 40 Tahun 1999. Terlepas dari pro kontra yang timbul, undang-undang ini telah mampu meletakkan dasar bagi perkembangan industry media cetak di tanah air. Terbukti dengan semakin menjamurnya penerbitan media cetak dan semakin terbukanya peluang untuk mendirikan industry media yang semakin berkembangan dengan masuknya modal-modal asing. Namun kondisi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan manajemen, profesionalitas dan keseriusan jurnalisme, baik oleh pemilik/pengelola ataupun wartawannya.

Akhir dari konflik yang ada sejak timbulnya krisis moneter beberapa tahun yang lalu, menyebabkan penerbitan pers banyak yang berguguran. Pasar yang tidak bertambah dan tidak adanya kejelian pengelola pers dalam menempatkan segmentasi pangsa pasarnya. Ditambah lagi harus diperebutkan oleh pendatang baru yang bermodal minim. Dalam kompetisi pasar yang sangat ketat, yang akan menang adalah surat kabar yang berkualitas (quality paper).

Di sisi lain, akan terjadi homogenisasi dan konsentrasi informasi dari penerbitan pers yang raksasa dan menguasai jalur distribusi. Kondisi ini akan menjadikan iklim demokratisasi bagi masyarakat semakin mengecil. Karena masyarakat tidak memiliki akses yang luas terhadap beragam informasi yang ada di tanah air.

Homogenisasi informasi ini akan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang kuat atau grup-grup besar di bidang pers yang saat ini mengembangkan media massa local dan nasional secara ekspansif. Kondisi ini jika dibiarkan akan berpengaruh terhadap iklim keterbukaan (openness) yang seharusnya dimiliki media dan perkembangan public sphere akan semakin suram.

Secara prinsipil perubahan industry media cetak pasca era reformasi yang perlu dicatat, dimulai dari aspek product diversification dan kompetisi sempurna dalam industry media cetak. Dari gejala yang merebak dalam peraturan industry media di tanah air, tampaklah bahwa perkembangan masyarakat merupakan hal yang dominan dan signifikan berpengaruh terhadap diversifikasi produk yang ditawarkan.

Dimana perubahan struktur industry media khususnya industry media cetak juga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap media dan sangat membutuhkannya sebagai media informasi.

Termasuk juga di dalamnya aspek konsentrasi manajemen dan konsentrasi kepemilikan yang banyak dilakukan oleh konglomerat bisnis pers yang besar. Di samping masuknya beberapa pemain asing yang menggandeng penerbitan local untuk membentuk aliansi baru dengan mengembangkan bentuk media baru, semacam multi media yang interaktif.

Sehingga dalam mengkaji dan untuk memahami behavior media untuk mengeksplorasi bisnis, perlu melakukan tiga pendekatan yang meliputi aspek performance, conduct/perilaku dan ekonomi. Ketiga hal ini akan menjadi tolok ukur dari keseluruhan aktivitas media dan perkembangannya. Serta adanya pengaruh consumer decision making yang ada pada tataran perilaku konsumen dalam menentukan pilihan media.

Di samping itu, ketiga hal tersebut berimplikasi terhadap perkembangan media cetak di tanah air, khususnya mengenai jumlah pembeli dan penjual yang berada pasca reformasi, adanya diferensiasi produk media cetak, halangan masuk bagi competitor baru serta adanya integrasi secara vertical bagi konglomerasi media cetak. Kemudian adanya alokasi efisiensi harga dan produk yang disebabkan perubahan harga kertas dan fluktuasi dolar terhadap rupiah sejak awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan berpengaruh terhadap perkembangan industry media cetak.

Pada akhirnya media yang mampu memenuhi keinginan konsumen-lah yang akan leading. Di samping itu yang perlu dicermati adalah aspek anggaran, teknologi dan manajemen. Ketiga hal ini harus terus dipupuk untuk mengembangkan profesionalisme jurnalistik yang memadai dan mampu berkembang.

 

 

Daftar Pustaka

 

Atmakusumah, Astra Atmadja. 1981. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. LSP, Jakarta.

Crouch, Harold. 1987. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, Cornell University Press.

Rachmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers : Analisis Deskriptif Sistem Pers di berbagai negara. Gramedia, Jakarta.

Mc. Chesney, Robert. 1997. Corporate Media and The Threat to Democracy. Seven Stories Press. New York.

Merril, John C. 1974. The Imperative of Freedom. Hansings House. New York.

Siebert, Ferd A. 1956. Four Theories of The Press. University of Illinois Press. Urbana.

Jurnal Dewan Pers Edisi 5. Profesionalisme, Sejarah, dan Masa Depan Pers. Dewan Pers. Jakarta.

 

 

 

 

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar